ARTIKEL KAMI

Thursday 12 April 2018

Buku Ident Plankton

Download Buku Identifikasi Plankton di sini :

Buku Iden Plankton

UU Peternakan yang Digugat ke MK dan Tersangkut Kasus Suap


BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Beberapa waktu lalu, asosiasi peternak menggugat Undang-Undang (UU) nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beleid ini digugat karena dinilai membolehkan impor sapi bakalan maupun daging berdasarkan zone based. Sistem zone based mengizinkan impor sapi atau kerbau dari dari negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), namun dengan sejumlah persyaratan. Berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni country based yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru.
Namun, gugatan tersebut tersangkut kasus dugaan suap yang membelit Hakim MK, Patrialis Akbar.
Kasus ini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)."Konteks kita gugat untuk melindungi peternak kita dari potensi penyakit mulut dan kuku. Kita ingin negara tidak mengimpor ruminansia dari negara zone based," ujar Ketua Umum Dewan Peternakan Nasional yang juga koordinator penggugat, Teguh Boediyana Teguh kepada detikfinance. Jumat. (27/1/2017). Teguh menjelaskan, impor daging atau sapi dari negara zone based dikhawatirkan bisa memicu wabah penyakit pada hewan ternak lokal. Dia mencontohkan, Inggris sendiri pernah mengalami wabah penyakit ternak sehingga terpaksa memusnahkan 600 ribu ekor sapi dan 4 juta domba. "Melindungi peternak lokal, itu tujuan kami menggugat.
Kami ingin pemerintah memberikan perlindungan maksimum pada peternak lokal," tegas Teguh. Wabah PMK sendiri selama ini jadi salah satu penyakit yang paling dikhawatirkan peternak. Sejak tahun 1986, Indonesia dinyatakan sudah terbebas dari PMK. Pembukaan impor dari negara zona based dikhawatirkan membuat wabah PMK kembali merebak di Indonesia. Meski tak berbahaya bagi manusia, PMK membuat pertumbuhan hewan berkaki empat terganggu.
1.2    Rumusan Masalah
Ø terkait dengan penyebaran penyakit PMK pada ternak
Ø suap yang diterima oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar
1.3    Tujuan & Manfaat
Ø melindungi peternakan (ternak) lokal terhadap penyakit PMK
Ø agar tidakterjadi lagi kasus yang serupa
BAB II
PEMBAHASAN
Ledakan wabah PMK pertama kali diketahui di Indonesia tahun 1887 di daerah Malang, Jawa Timur, kemudian penyakit menyebar ke berbagai daerah seperti Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Kampanye vaksinasi massal memberantas PMK dimulai tahun 1974 sehingga pada periode 1980-1982 tidak tercatat lagi kasus PMK. Pada tahun 1983 tiba-tiba muncul lagi kasus di Jawa Tengah dan menular kemana-mana. Melalui program vaksinasi secara teratur setiap tahun, wabah dapat dikendalikan dan kasus PMK tidak muncul lagi. Pada tahun 1986 Indonesia menyatakan bebas PMK. Hal ini diakui di lingkungan ASEAN sejak 1987 dan diakui secara internasional oleh organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties-OIE) sejak 1990.
2.1 Suap dan Zonasi Impor Daging
Pengaturan impor ternak dan produk ternak, terutama daging sapi, kembali memakan korban. Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar diduga menerima suap terkait uji materi UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis dan tiga oranglainnya, termasuk importir daging Basuki Hariman, ditetapkan sebagai tersangka. Ujung kasus ini masih panjang. Namun, operasi tangkap tangan ini menambah daftar panjang para pihak yang tersangkut masalah hukum terkait pengaturan impor ternak dan produk ternak. Kasus pengaturan impor sebelumnya telah menjerat politikus PKS Luthfi Hasan Ishaq, perantara Ahmad Fatanah dan importir daging sapi.
Uji materi diajukan 6 pihak pada 16 Oktober 2015, yaitu Teguh Boediyana (ketua umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia), dokter hewan Mangku Sitepu, petani dan konsumen daging Gun Gun Muhamad Lutfi, pedagang daging sapi Asnawi, dosen dan konsumen Rachmat Pambudy, dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Objek gugatan adalah Pasal 36 C ayat 1 dan 3, Pasal 36 D ayat 1 dan Pasal 36 E ayat 1. Inti objek gugatan adalah pengaturan syarat negara atau zona dalam suatu Negara asal impor ternak ruminansia. Menurut penggugat, rezim impor berbasis zonasi membuat jumlah impor semakin tinggi, yang ini bakal merugikan peternak lokal.Beleid ini memungkinkan impor dari zona bebas PMK (penyakit mulut dan kuku) meski negara itu belum bebas PMK. Pengaturan serupa tertuang dalam Pasal 59 Ayat 2 UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Oleh para penguji materi, aturan di UU lama ini digugat ke MK. Penggugat menang. Pasal ini diubah MK menjadi ”berasal dari suatu negara”, bukan berasal dari zona dalam suatu negara. Salah satu pertimbangannya adalah kaidah ”maksimum sekuriti”. Dengan perubahan ini Indonesia tidak bisa lagi mengimpor ternak dan produk ternak dari negara yang belum bebas PMK walaupun di Negara tersebut ada zona yang sudah bebas PMK, seperti dari India.
Sejak gugatan judicial review diputuskan MK pada 27 Agustus 2010, sudah ada hasrat untuk merevisi UU 18/2009. Inisiatif revisi terutama datang dari pemerintah. Alasannya, pendekatan country base membuat Indonesia tidak leluasa mengimpor daging (dan sapi) dari berbagai negara. Karena tidak banyak Negara bebas PMK, Indonesia amat tergantung pasokan daging (dan sapi) dari Australia (dan Selandia Baru). Sebenarnya, di luar Australia dan Selandia Baru, Indonesia bisa mengimpor daging dan sapi dari AS, Kanada dan Jepang yang bebas PMK. Indonesia lebih banyak mengimpor daging dan sapi dari Australia lantaran pertimbangan geografis, sehingga harganya lebih murah. Ketergantungan impor daging dan sapi yang tinggi dari Australia membuat Indonesia dirugikan. Bukan saja Australia sering bertindak pongah, harga daging pun tidak kunjung turun sampai sekarang. Padahal, berbagai kebijakan dibuat antara lain untuk menekan harga. Lewat ’perselingkuhan’ yang tidak diketahui publik, pemerintah dan DPR merevisi UU 18/2009 menjadi UU 41/2014 tentang hal sama.
Salah satu perubahan mencolok di UU 41/2014 adalah pengembalian sistem zone base yang jelas-jelas bertentangan dengan keputusan judicial review MK atas UU 18/2009. Kebijakan itu didasari oleh alas an jika ketersediaan daging terjamin dan harganya terjangkau tidak akan menciptakan instabilitas di pasar. Harga daging yang stabil membuat inflasi terkendali. Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu penyumbang utama inflasi adalah daging sapi. Memang benar harga daging dan sapi impor dari negara yang bebas PMK lebih mahal dari negara yang masih endemik PMK. AS misalnya, mengimpor daging sapi dari Australia dengan harga premium 30% lebih tinggi daripada daging sapi asal negara tertular. Tapi ini tidak bisa menjadi justifikasi untuk melonggarkan aturan impor ternak, terutama sapi. Jika PMK kembali berjangkit, kerugian ekonomi yang ditimbulkan tak ternilai besarnya. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986), menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai US$ 1,66 miliar (Rp 19,92 triliun). Ini antara lain alasan para pihak kembali mengajukan uji materi sistem zone base di UU 41/2014 ke MK. Ujimateri diajukan juga didasari kebijakan pemerintah yang kian ugal-ugalan dalam impor daging. Untuk memastikan pasokan daging sapi di pasar cukup, pemerintah mengaluarkan paket kebijakan ekonomi I dan IX yang memperlonggar sumber pemasukan. Ada juga beleid Permentan 58/2015 yang membebaskan impor daging variety meat, impor daging kerbau dari India dan kembali membolehkan impor jeroan. Memang ada perbedaan frasa di aturan baru. Pasal 59 Ayat 2 menggunakan frasa ternak dan produk ternak, sedangkan Pasal 36C memakai frasa ternak ruminansia indukan dan produk hewan. Namun, perbedaan komoditas pada UU 18/2009 dengan UU 41/2014 tidak serta-merta menyebabkan rendahnya risiko berjangkitnya penyakit hewan menular. Yang pasti, kebijakan yang ugalugalan itu selain membuat Indonesia “banjir” daging impor, kekhawatiran kembali ter tular penyakit juga amat tinggi. Apalagi, selain belum ada anggaran pemusnahan ternak, Indonesia belum memiliki otoritas veteriner mumpuni. Bagi negara-negara bebas PMK seperti Indonesia, sangat penting memastikan impor ternak dan produknya bersumber dari negara dengan status sama.
Perdagangan ternak hidup tidak dianjurkan antara negara bebas dan negara endemi PMK. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengatur standar dan persyaratan kesehatan hewan impor ternak dan produknya untuk mengawal perdagangan yang aman di seluruh dunia. Menurut OIE, impor ternak sapi bisa saja dilakukan dari Negara yang memiliki zona bebas PMK, tapi perlu persyaratan tambahan yang ketat, baik di negara eksportir maupun negara importir (Naipospos, 2015). Syarat itu pula yang direkomendasikan Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang dibentuk Kementerian Pertanian (Kementan, 2008). Sulit menebak apa keputusan MK dalam uji materi UU 41/2014. Yang pasti, pemerintah lebih menyukai sistem zone base karena alternative sumber pemasukan lebih banyak, sehingga harga lebih murah. Importir juga menyukai pendekatan ini. Sebab, dengan harga daging dan sapi impor murah dari negara asal, peluang untung amat besar. Bukankah harga daging sapi di Indonesia masih tinggi? Sebaliknya, peternak lokal menghendaki sistem country base. Pendekatan country base membuat pasar domestik tidak dibanjiri daging impor, termasuk bebas dari kekhawatiran tertular penyakit menular. Pendekatan country base juga menguntungkan Australia. Karena beleid itu menjamin pasar daging dan ternaknya di Indonesia. Hakim yang lancung bisa memainkan kedua pihak untuk keuntungan pribadi. Buat hakim seperti ini, yang penting: wani piro?



2.2 Berikut ini pasal-pasal dalam UU 41 tahun 2014 yang digugat ke MK:
1.      Pasal 36 C ayat 1
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.
2.      Pasal 36 C ayat 3
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu: a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia; b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
3.      Pasal 36 D ayat 1
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di pulau karantina sebagai instalasi karantina hewan pengamanan maksimal untuk jangka waktu tertentu.
4.      Pasal 36 E ayat 1
Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan. (idr/hns)


BAB III
PENUTUP
1.1    Kesimpulan
Salah satu perubahan mencolok di UU 41/2014 adalah pengembalian sistem zone base yang jelas-jelas bertentangan dengan keputusan judicial review MK atas UU 18/2009. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengatur standar dan persyaratan kesehatan hewan impor ternak dan produknya untuk mengawal perdagangan yang aman di seluruh dunia. pemerintah lebih menyukai sistem zone base karena alternative sumber pemasukan lebih banyak, sehingga harga lebih murah. Importir juga menyukai pendekatan ini. Sebab, dengan harga daging dan sapi impor murah dari negara asal, peluang untung amat besar.
Bukankah harga daging sapi di Indonesia masih tinggi? Sebaliknya, peternak lokal menghendaki sistem country base. Pendekatan country base membuat pasar domestik tidak dibanjiri daging impor, termasuk bebas dari kekhawatiran tertular penyakit menular. Pendekatan country base juga menguntungkan Australia. Karena beleid itu menjamin pasar daging dan ternaknya di Indonesia.



DAFTAR PUSTSKA


Buku Iden Makrozobentos, Bentos

Untuk mendownload Buku Iden Bentos, Klik File dibawah ini :

 
Copyright © 2014 Anak Kuliahan. Designed by UCOKGINTING