ARTIKEL KAMI

Friday 18 November 2016

Bentuk Kelembagaan untuk Perumusan dan Implementasi Kebijaksanaan UKM.






Arah Kebijaksanaan UKM
Pada masa lampau, selama tahun 1970–an hingga pertengahan dekade 1980–an, perhatian pemerintah Indonesia ditujukan hanya kepada perkembangan UK (termasuk usaha mikro), tidak ada perhatian secara eksplisit diberikan kepada perkembangan UM. Pada waktu itu, kebijaksanaan UK dianggap sebagai satu bagian penting dari kebijaksanaan – kebijaksanaan yang menyangkut penciptaan kesempatan kerja dan pendapatan, penanggulangan kemiskman dan pembangunan ekonomi pedesaan. Akan tetapi, akhir – akhir ini, khususnya dalam menghadapi era perdagangan bebas yang mengharuskan adanya upaya – upaya peningkatan daya saing dan perekonomian nasional dan pemerintah menyadari bahwa di Indonesia jumlah UB tidak banyak. Sedangkan jumlah UK sangat besar tetapi tidak ada UM dalam yang besar dan kuat yang secara potensial dapat berfungsi sebagai penghubung antara UK dan UB (misalnya lewat subcontracting), pemerintah muiai punya kebijaksanaan UKM. Pernah sekali, seorang mantan Menteri Koperasi mengalakan sebagai berikut: "Kita harus punya suatu kebijaksanaan UKM yang bagus untuk memberdayakan UKM di dalam negeri yang secara potensial dapat memberi suatu kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan pertumbuhan eskpor kita. Di antara UK, perhatian kita harus difokuskan kepada unit – unit usaha yang modern, sedangkan usaha – usaha mikro menjadi tanggung jawab dari Departemen Sosial yang dikaitkan dengan kebijaksanaan pengurangan kemiskman di tanah air". Menurut mantan Menteri tersebut, tujuan utama dan kebijaksanaan UKM adalah untuk menciptakan suatu lingkungan usaha yang kondusif untuk pembangunan dan peningkatan daya saing UKM dengan cara menghilangkan semua distorsi – distorsi pasar melalui deregulasi – deregulasi dan pengurangan beban – beban birokrasi.
Arab kebijaksanaan pengembangan UKM di Indonesia dinyatakan secara eksplisit di dalam Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004. Pedoman kebijaksanaan negara ini menggaris bawahi 28 butir mengenai arah kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional untuk periode tahun 1999 – 2004. Kerangka kerja kebijaksanaan terdiri dari tiga kebijaksanaan utama (Menegkop & UKM, 2000), yaitu:
1.      Sistem ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas pada sosial), kualitas hidup, lingkkungan dan pembangunan berkelanjutan. Sistem ini menjamin  kesempatan – kesempatan bisnis dan kesempatan kerja yang sama, perlindungan konsumen dan perlakuan yang adil terhadap masyarakat. Di bawah kerangka kerja kebijaksanaan ini, memberdayakan KUKM rneniadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha – usaha mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan dapat ditunjukkan dengan : (a) adanya suatu sistern persaingan yang adil yang menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, (b) peranan pemerintah yang efektif dalam menyempurnakan sistem pasar termasuk pengurangan pajak, (c) kebijaksanaan ekonomi yang menciptakan kesempatan berusaha bagi KUKM, (d) suatu pertumbuhan kemitraan usaha antar pengusaha UKM, dan (e) meningkatkan penerimaan positif dari masyarakat dalam bisnis dan peningkatan dalam penerimaan dari masyarakat.

2.      Penciptaan iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan KUKM
sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana KUKM bias mendapat keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain – pemain bisnis lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan lainnya dari ekonomi makro, sekoral, dan pembangunan daerah, local yang secara bersama – sama memberikan dukungan komplementer untuk meningkatkan bisnis KUKM.


3.      Kebijaksanaan peningkatan kapasitas KUKM yang bertujuan untuk membuat KUKM mampu bersaing di pasar bebas dengan pelaku – pelaku bisnis lainnya. Pada dasarnya, kebijaksanaan ini bertujuan untuk menghilangkan segala kendala yang dihadapi KUKM, seperti keterbatasan modal pasar dan input – input untuk berproduksi, kekurangan dalam kapabilitas manajemen, kekurangan pekerja dengan keahlian – keahlian teknis, bisnis, teknologi, dan keterbatasan akses ke informasi dan mitra usaha. GBHN tahun 1999 menekankan bahwa dukungan dari pemerintah terhadap penguatan KUKM harus dilaksanakan secara selektif dalam bentuk perlindungan terhadap persaingan yang tidak adil, peagembaagan DM lewat pendidikan dan pelatihan, diseminasi informasi mengenai bisnis dan teknologi, penyediaan finansial, lokasi usaha dan kemitraan usaha dengan BUMN dan perusahaan – perusahaan besar swasta, penyediaan fasilitas – fasilitas untuk agribisnis, IK dan IRT (handicrafts), penyempurnaan dan pembangunan kapasitas dari lembaga – lembaga lokal dan utilisasi SDA.

Namun demikian, dalam realitas, kebijaksanaan UKM (terutama UK masih lebih berorientasi kepada sosial daripada pasar atau persaingan. Kebijaksanaan UKM belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijaksanaan ekonomi umum / makro di Indonesia. Konsekuensinya, kebijaksanaan UKM di Indonesia tidak (belum) berfungsi sebagai elemen – elemen komplemen dan sektoral dari kebijaksanaan ekonomi seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila sampai saat ini masih saja terjadi tumpang tindih antara kerja, pembangunan ekonomi dan masyarakat pedesaan, pemberdayaan perempuan dan pengurangan kemiskinan. Bahkan, di dalam Strategi Industri Nasional yang dirumuskan oleh Depperindag semasa pemerintahan Presiden Gus Dur, pentingnya dan peranan dari IKM dalam pembangunan atau usaha – usaha penyempurnaan daya saing dari industri nasional tidak dinyatakan secara eksplisit, tidak ada peranan spesifik yang diberikan kepada IKM, misalnya sebagai industri – industri pendukung yang memproduksi komponen – komponen, spare parts, mesin – mesin atau input – input lainnya untuk IB.

Walaupun dalam GHBN 1999, dinyatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan didasarkan pada “mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi”, sistem ini masih lebih terfokus pada isu – isu seperti untuk “menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, perlindungan konsumen, dan suatu perlakuan yang adil terhadap masyarakat". Tidak dikatakan secara eksplisit di dalam GBHN tersebut misalnya seperti ini : "dalam menghadapi era perdagangan bebas dan globalisasi, ekonomi nasional harus diberdayakan atau daya saing dari ekonomi Indonesia harus ditingkatkan, dan untuk mencapai tujuan tersebut, UKM di dalam negeri harus diberdayakan atau dimodernisasikan dan produktivitas, efisiensi dan daya saingnya harus ditingkatkan". Oleh karena itu, penekanan utamanya harus pada pertanyaan bagaimana menyiapkan UKM di Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas, dan sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sebagai sumber utama kesempatan berusaha bagi masyarakat.

3.2       Struktur Pemerintahan
3.2.1    Pada tingkat nasional
Di bawah Konstitusi  1945, Indonesia dipimpin oieh seorang presiden yang dipilih sekali lima tahun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang termasuk parlemen dan  otoritas  tertinggi negara. Presiden  dapat  menunjuk anggota – anggota MPR dan membentuk kabinet dan sejumlah menteri yang terdiri dan beberapa menteri Negara (non departemen) dan menteri – menteri yang mengepalai departemen – departemen. Pelaksana pemerintah adalah Presiden dan kabinetnya sedangkan kekuasaan legislatif di Indonesia adalah di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan undang – undang yang berlaku, fungsi – fungsi utama dari MPR adalah memilih presides dan wakilnya, dan menetapkan konstitusi dan garis – garis besar dari kebijaksanaan pemerintah dan negara. Sedangkan fungsi – fungsi utama dari badan legislatif (DPR) adalah membuat, merubah, menyempurnakan atau menyetujui usulan peraturan – peraturan atau undang – undang, termasuk UU APBN berdasarkan usulan RAPBN dari Menteri Keuangan yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) lewat Presiden dan membantu pelaksanaan dari undang – undang dan realisasi dari APBN dam kebijaksanaan pemerintah (lihat gambar .1) untuk memperlancar tugas – tugas tersebut, DPR membentuk 9 komisi adalah termasuk persiapaan, diskusi, dan penyempurnaan dari undang – undang yang diusulkan dalam bidangnya masing – masing, diskusi dan penyempumaan rencana APBN (RAPBN) yang diusulkan oleh pemerintah (kabinet), dan melakukan monitor dan evaluasi. Komisi – komisi ini secara rutin melakukan dengar pendapat / dialog dengan departemen – departemen maupun organisasi – organisasi non pemerintah seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIN), asosiasi – asosiasi bisnis dan lain – Iain mengenai berbagai macam isu – isu aktual.
Kesembilan komisi – komisi tersebut, masing – masing dengan bidang / sektornya adalah sebagai berikut :           
Komisi 1    :  Pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri dan informasi
Komisi 2    :  Hukum, hak asasi manusia (HAM), dan masalah – masalah dalam negeri.
Komisi 3    :  Pertanian, kehutanan, dan kelautan (termasuk perikanan)
Komisi 4    :  Transportasi, pemukiman dan infrastruktur daerah
Komisi 5    :  Industri, perdagangan, koperasi, turisme         
Komisi 6    :  Agama dan pendidikan
Komisi 7    :  Kesehatan dan kesejahteraan sosial
Komisi 8    :  Energi, sumber daya mineral, penelitian dan teknologi, dan lingkungan
Komisi 9    :  Keuangan, perbankan, perencanaan pembangunan

Dalam hal eksekutif, struktur pemerintah secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga elemen utama : pembuatan kebijaksanaan dan koordinasi, manajemen dan pelaksanaan fungsi – fungsi oleh departemen – departemen perwakilan – perwakilan kunci yang bertanggung jawab untuk setiap elemen adalah sebagai berikut :
a.  Pembuat kebijaksanaan dan koordinasi
Kabinet terdiri dari sejumlah menteri yang memiliki kontrol secara keseluruhan dari pemerintah, memimpin dan mengkoordinasi departemen – departemen dan badan – badan dan menentukan kebijaksanaan – kebijaksaan pemerintah.
b.Manajemen
Menten keuangan adalah manajemen kunci dari pemerintah dan bertanggung jawab atas perumusan strategi ekonomi, kebijaksanaan fiskal (pendapatan pemerintah), anggaran nasionanl (APBN), manajemen BUMN. dan pengembangan lembaga – lembaga keuangan. Seperti di Negara – Negara lain. Kekuasaan atas sumber daya finansial yang dimiliki oleh Menteri Keuangan membuatnya sebagai menteri yang paling berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1997, bank sentral dari Indonesia (Bank Indonesia, BI) dibuat independen dari pemerintah, jadi posisi BI adalah di luar kabinet. BI mempunyai tanggung jawab terhadap kebijaksanaan moneter, termasuk kebijaksanaan nilai tukar rupiah, dan pencapaian target – target inflasi yang ditetapkan oleh BI sendiri.
c.   Departemen – departemen
Departemen – departemen pemerintah (umum disebut departemen teknis) secara tradisional adalah motor utama untuk membuat menjalankan dan mengefektifkan kebijaksanaan pemerintah dan dibiayai oleh Menteri Keuangan, atas persetujuan oleh Parlemen (DPR). Departemen – departemen biasanya punya satu hierarki pimpinan, dan dikepalai oleh seorang menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
d.   Menteri – menteri Negara
Kementrian – kementrian non departemen yang dikenal dengan sebutan Menteri Negara tidak mengepalai suatu departemen. Mereka adalah asisten – asisten dari Presiden yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas utama mereka adalah untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan di bidang – bidang tertentu kegiatan – kegiatan pemerintahan negara.
e.   Badan badan pelaksana
Seperti di banyak Negara – Negara lain, badan – badan pelaksana dibentuk untuk mematahkan struktur pemerintah yang kaku, yang susah digunakan, ke dalam unit – unit yang berdiri bebas dan lebih fleksibel, dan untuk memisahkan pemberian layanan dan implementasi fungsi – fungsi dari departemen – departemen dan tanggung jawab – tanggung jawab utama dari pembuatan kebijaksanaan dan strategi. Badan – badan tersebut adalah seperti BAPPENAS, BPS (Biro Pusat Statistik), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), dan LAN (Lembaga Administrasi Negara).

3.2.2    Pada Tingkat Regional
Indonesia dibagi dalam lebih dari 30 propinsi, dan setiap propinsi dikelola oleh seorang Gubernur dan suatu badan pembuat undang – undang di tingkat regional, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang mana anggota – anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang memilih gubernur atas persetujuan presiden. Di antara propinsi – propinsi, ada lebih dan 200 kabupaten dan lebih dari 55 kotamadya atau kota, dikepalai masing – masing oleh Bupati. Dan walikota. Pada tingkat lebih rendah, ada banyak kecamatan dan desa. Setiap pemerintah – pemerintah propinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengelola urusan – urusan keperintahan mereka sesuai prinsip – prinsip dari otonomi. Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokrasi.
Dalam hal legislatif, berdasarkan UU No. 22/1999, Bupati / Walikota ditentukan oleh DPRD Kabupaten / kota dan harus disetujui oleh Presiden, Bupati / Walikota bertanggung jawab kepada DPRD : Setiap macam kebijaksanaan daerah yang dikeluarkan oleh Bupati / walikota harus disetujui oleh DPRD. Oleh karena itu, peranan DPRD adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari undang – undang / peraturan – peraturan daerah yang disetujuinya.

C.    Petunjuk Teknis Perkuatan Business Development Service Dalam Pengembangan Sentra Usaha Kecil Menengah.
PERATURAN
MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 02/Per/M.KUKM/I/20082007
TENTANG
PEDOMAN
PEMBERDAYAAN BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES-PROVIDER (BDS-P)
UNTUK PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (KUMKM)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1




Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1.      Business Development Services/Layanan Pengembangan Bisnis (BDS/LPB) adalah kegiatan pemberian layanan (jasa) pengembangan bisnis, untuk meningkatkan kinerja KUMKM.
2.      Business Development Services–Provider (BDS-P) adalah lembaga yang memiliki kompetensi dan kemampuan untuk melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis KUMKM.
3.      Business Development Services-Provider Unggulan (BDS-P Unggulan) adalah BDS-P yang dinilai memiliki kinerja (prestasi) lebih menonjol dalam pengembangan bisnis KUMKM.
4.      Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagaimana diatur menurut undang-undang tentang Usaha Kecil.
5.      Usaha Menengah adalah kegiatan ekonomi yang berskala menengah dan memenuhi kriteria sebagaimana diatur menurut Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.
6.      Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang/seorang atau badan hukum Koperasi yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Perkoperasian.
7.      Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
8.      Pembinaan dan Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan Usaha Kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
9.      Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat.
10.  Sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik masuk (entry point) dari upaya pengembangan klaster. 


11.  Konsultan KUMKM adalah seorang tenaga profesional yang menyediakan jasa nasehat ahli, dalam bidang keahlian tertentu menurut fungsi dan/atau bidang/sektor usaha tertentu, misal akuntansi, hukum, usaha perikanan, peternakan, manufakturing, dll.
12.  Pendamping KUMKM adalah orang/lembaga yang menjalin relasi dengan KUMKM dalam rangka memperkuat dukungan, memotivasi, memfasilitasi dan menjembatani kebutuhan untuk pemberdayaan KUMKM.
13.  Standar Kompetensi Kerja adalah alat ukur minimal yang harus dimiliki oleh seorang pendamping/penyuluh/konsultan untuk menganalisa uraian tugasnya dalam rangka membina dan mengembangkan usaha KUMKM.
14.  Sertifikasi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dan/atau internasional.
15.  Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
16.  Kelompok Kerja (Pokja) pemberdayaan BDS-P adalah organisasi ex-officio di tingkat pusat dan daerah, untuk melakukan tugas dan tanggung jawab khusus dalam penyelenggaraan pemberdayaan BDS-P bagi Pengembangan KUMKM, yang organisasi dan tugasnya diatur dalam peraturan ini.
17.  Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
18.  Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

Bagian Kedua
Tujuan dan Sasaran
Pasal 2
(1)   Tujuan Pemberdayaan BDS-P :
a.       meningkatkan kemampuan BDS-P dalam melakukan layanan pengembangan bisnis sesuai kebutuhan KUMKM;
b.      meningkatkan kinerja bisnis KUMKM yang memperoleh layanan pengembangan bisnis.
(2)   Sasaran Pemberdayaan BDS-P :
a.       meningkatnya jumlah dan kualitas BDS-P yang profesional dan BDS-P unggulan;
b.      meningkatnya jumlah dan kualitas tenaga konsultan/pendamping KUMKM pada BDS-P;
c.       meningkatnya jumlah dan kinerja bisnis KUMKM, termasuk penumbuhan usaha baru;
d.      meningkatnya peran aktif Pemerintah, Pemerintah Provinsi/DI, Pemerintah Kabupaten/Kota, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan pihak-pihak terkait lainnya, dalam memberdayakan BDS-P untuk pengembangan KUMKM di daerah.
Bagian Ketiga
Fungsi dan Tugas Pokok BDS-P
Pasal 3
1.      BDS-P berfungsi sebagai lembaga penyedia layanan pengembangan bisnis sesuai dengan kebutuhan KUMKM.
2.      BDS-P mempunyai tugas pokok :
a.       bimbingan-konsultasi layanan pengembangan bisnis;
b.      pendampingan bisnis;
c.       memfasilitasi akses terhadap sumber daya produktif antara lain: modal, pasar, teknologi, manajemen dan informasi.
3.      Pemberian layanan pengembangan bisnis kepada KUMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan sesuai dengan kebutuhan, dan dapat berupa antara lain, identifikasi potensi dan permasalahan bisnis, bimbingan pengembangan rencana bisnis, kemitraan dan kebutuhan pengembangan bisnis lainnya.

Bagian Keempat
Kelembagaan BDS-P
Pasal 4
Pelaksanaan fungsi dan tugas layanan pengembangan bisnis KUMKM sebagaimana dimaksud pada pasal 3, dapat dilaksanakan oleh :
a.       perorangan oleh tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUMKM secara perseorangan dalam wadah BDS-P;
b.      lembaga BDS-P dalam bentuk antara lain, yayasan, perseroan terbatas, koperasi, perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan.

BAB II
Bagian Kesatu
Kegiatan Pemberdayaan BDS-P
Pasal 5
Kegiatan pemberdayaan BDS-P meliputi :
a.       penciptaan iklim usaha antara lain, koordinasi dan pengembangan kebijakan di bidang layanan pengembangan bisnis;
b.      pembinaan dan pengembangan antara lain, pengembangan standar kompetensi, sertifikasi, peningkatan kualitas tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUMKM, dukungan insentif, serta monitoring dan evaluasi;
Bagian Kedua
Pengembangan BDS-P Unggulan
Pasal 6
a.       Secara selektif BDS-P diarahkan untuk tumbuh menjadi BDS-P unggulan, yang mampu mendorong pengembangan UKM sentra dan/atau UKM lainnya.
b.      BDS-P unggulan memiliki kriteria umum yaitu profesional, mandiri dan memiliki jaringan kerjasama usaha.
c.       BDS-P unggulan didorong dan difasilitasi untuk mampu melakukan layanan pengembangan bisnis secara produktif bagi kemanfaatan KUMKM, dan dapat menjadi penghela bagi BDS-P lainnya.

Bagian ketiga
Fasilitasi Program
Pasal 7
(1) BDS-P yang aktif melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis dan kinerjanya dinilai baik, dapat memperoleh dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha.
(2) Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari APBN/APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan kewajaran, kepatutan dan kemampuan keuangan negara.
(3) BDS-P dapat memperoleh pendapatan (fee) jasa layanan pengembangan bisnis dari KUMKM yang dibina.

BAB III
ORGANISASI PELAKSANAAN
Organisasi Penyelenggara
Pasal 8
(1) Organsiasi penyelenggara pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUMKM terdiri dari :
a. organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Pusat Cq. Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dilaksanakan oleh Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha;
b. organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Daerah Cq. Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi/Kabupaten/Kota.
(2) Dalam rangka koordinasi Pemberdayaan BDS-P, dapat dibentuk :
a. Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat pusat, beranggotakan unsur Kementerian Negara Koperasi dan UKM dan instansi pemerintah terkait, ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dan/atau Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, dengan tugas antara lain :


1) merumuskan kebijakan pemberdayaan BDS-P tingkat nasional
2) melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pusat dan Daerah;
3) melakukan pengembangan parameter-parameter standar bagi peningkatan kemampuan BDS-P, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberdayaan BDS-P;
4) menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P, kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM,
b. Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat Daerah beranggotakan unsur Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan Organisasi Kemasyarakatan, ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, dengan tugas antara lain :
1) merumuskan kebijakan dan program pemberdayaan BDS-P di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota;
2) melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan Perguruan Tinggi;
3) mendorong Perguruan Tinggi berperan antara lain, mengembangkan inovasi, perluasan akses Teknologi Tepat Guna, pengembangan modul dan perangkat lunak layanan pengembangan bisnis bagi KUMKM;
4) mendorong Dunia Usaha berperan antara lain, memfasilitasi perluasan jaringan usaha dan kemitraan.
5) melakukan sosialisasi, pembinaan-pengembangan, monitoring dan evaluasi kinerja BDS-P;
6) menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P kepada Gubernur, Bupati/Walikota.








BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 9
Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUMKM, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara periodik sebagai berikut :
a. BDS-P menyampaikan laporan perkembangan layanan bisnis kepada Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota, Provinsi, berisi :
1) perkembangan organisasi dan kelembagaan;
2) pelaksanaan kegiatan layanan pengembangan bisnis kepada UKM;
3) perkembangan kinerja UKM binaan BDS-P.
b. Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi menyampaikan laporan perkembangan BDS-P kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM Cq. Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha;

c. Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha menyampaikan laporan perkembangan BDS-P kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM.


Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2014 Anak Kuliahan. Designed by UCOKGINTING