Pada
masa lampau, selama tahun 1970–an hingga pertengahan dekade 1980–an, perhatian
pemerintah Indonesia ditujukan hanya kepada perkembangan UK (termasuk usaha
mikro), tidak ada perhatian secara eksplisit diberikan kepada perkembangan UM.
Pada waktu itu, kebijaksanaan UK dianggap sebagai satu bagian penting dari
kebijaksanaan – kebijaksanaan yang menyangkut penciptaan kesempatan kerja dan
pendapatan, penanggulangan kemiskman dan pembangunan ekonomi pedesaan. Akan
tetapi, akhir – akhir ini, khususnya dalam menghadapi era perdagangan bebas
yang mengharuskan adanya upaya – upaya peningkatan daya saing dan perekonomian
nasional dan pemerintah menyadari bahwa di Indonesia jumlah UB tidak banyak.
Sedangkan jumlah UK sangat besar tetapi tidak ada UM dalam yang besar dan kuat
yang secara potensial dapat berfungsi sebagai penghubung antara UK dan UB
(misalnya lewat subcontracting), pemerintah muiai punya kebijaksanaan UKM.
Pernah sekali, seorang mantan Menteri Koperasi mengalakan sebagai berikut:
"Kita harus punya suatu kebijaksanaan UKM yang bagus untuk memberdayakan
UKM di dalam negeri yang secara potensial dapat memberi suatu kontribusi yang
besar terhadap pembangunan dan pertumbuhan eskpor kita. Di antara UK, perhatian
kita harus difokuskan kepada unit – unit usaha yang modern, sedangkan usaha –
usaha mikro menjadi tanggung jawab dari Departemen Sosial yang dikaitkan dengan
kebijaksanaan pengurangan kemiskman di tanah air". Menurut mantan Menteri
tersebut, tujuan utama dan kebijaksanaan UKM adalah untuk menciptakan suatu
lingkungan usaha yang kondusif untuk pembangunan dan peningkatan daya saing UKM
dengan cara menghilangkan semua distorsi – distorsi pasar melalui deregulasi –
deregulasi dan pengurangan beban – beban birokrasi.
Arab
kebijaksanaan pengembangan UKM di Indonesia dinyatakan secara eksplisit di
dalam Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004. Pedoman
kebijaksanaan negara ini menggaris bawahi 28 butir mengenai arah kebijaksanaan
pembangunan ekonomi nasional untuk periode tahun 1999 – 2004. Kerangka kerja
kebijaksanaan terdiri dari tiga kebijaksanaan utama (Menegkop & UKM, 2000),
yaitu:
1.
Sistem ekonomi kerakyatan yang didasarkan
pada mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan
pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas pada sosial), kualitas hidup,
lingkkungan dan pembangunan berkelanjutan. Sistem ini menjamin kesempatan
– kesempatan bisnis dan kesempatan kerja yang sama, perlindungan konsumen dan
perlakuan yang adil terhadap masyarakat. Di bawah kerangka kerja kebijaksanaan
ini, memberdayakan KUKM rneniadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi
nasional. Usaha – usaha mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan dapat
ditunjukkan dengan : (a) adanya suatu sistern persaingan yang adil yang menjamin
kesempatan bisnis dan kerja yang sama, (b) peranan pemerintah yang efektif
dalam menyempurnakan sistem pasar termasuk pengurangan pajak, (c) kebijaksanaan
ekonomi yang menciptakan kesempatan berusaha bagi KUKM, (d) suatu pertumbuhan
kemitraan usaha antar pengusaha UKM, dan (e) meningkatkan penerimaan positif
dari masyarakat dalam bisnis dan peningkatan dalam penerimaan dari masyarakat.
2.
Penciptaan iklim bisnis yang kondusif
untuk memberdayakan KUKM
sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana KUKM bias mendapat keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain – pemain bisnis lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan lainnya dari ekonomi makro, sekoral, dan pembangunan daerah, local yang secara bersama – sama memberikan dukungan komplementer untuk meningkatkan bisnis KUKM.
sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana KUKM bias mendapat keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain – pemain bisnis lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan lainnya dari ekonomi makro, sekoral, dan pembangunan daerah, local yang secara bersama – sama memberikan dukungan komplementer untuk meningkatkan bisnis KUKM.
3.
Kebijaksanaan peningkatan kapasitas KUKM
yang bertujuan untuk membuat KUKM mampu bersaing di pasar bebas dengan pelaku –
pelaku bisnis lainnya. Pada dasarnya, kebijaksanaan ini bertujuan untuk
menghilangkan segala kendala yang dihadapi KUKM, seperti keterbatasan modal
pasar dan input – input untuk berproduksi, kekurangan dalam kapabilitas
manajemen, kekurangan pekerja dengan keahlian – keahlian teknis, bisnis,
teknologi, dan keterbatasan akses ke informasi dan mitra usaha. GBHN tahun 1999
menekankan bahwa dukungan dari pemerintah terhadap penguatan KUKM harus
dilaksanakan secara selektif dalam bentuk perlindungan terhadap persaingan yang
tidak adil, peagembaagan DM lewat pendidikan dan pelatihan, diseminasi
informasi mengenai bisnis dan teknologi, penyediaan finansial, lokasi usaha dan
kemitraan usaha dengan BUMN dan perusahaan – perusahaan besar swasta,
penyediaan fasilitas – fasilitas untuk agribisnis, IK dan
IRT (handicrafts), penyempurnaan dan pembangunan kapasitas dari
lembaga – lembaga lokal dan utilisasi SDA.
Namun
demikian, dalam realitas, kebijaksanaan UKM (terutama UK masih lebih
berorientasi kepada sosial daripada pasar atau persaingan. Kebijaksanaan UKM
belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijaksanaan ekonomi umum / makro di
Indonesia. Konsekuensinya, kebijaksanaan UKM di Indonesia tidak (belum)
berfungsi sebagai elemen – elemen komplemen dan sektoral dari kebijaksanaan
ekonomi seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila
sampai saat ini masih saja terjadi tumpang tindih antara kerja, pembangunan
ekonomi dan masyarakat pedesaan, pemberdayaan perempuan dan pengurangan
kemiskinan. Bahkan, di dalam Strategi Industri Nasional yang dirumuskan oleh
Depperindag semasa pemerintahan Presiden Gus Dur, pentingnya dan peranan dari
IKM dalam pembangunan atau usaha – usaha penyempurnaan daya saing dari industri
nasional tidak dinyatakan secara eksplisit, tidak ada peranan spesifik yang
diberikan kepada IKM, misalnya sebagai industri – industri pendukung yang
memproduksi komponen – komponen, spare parts, mesin – mesin atau input –
input lainnya untuk IB.
Walaupun
dalam GHBN 1999, dinyatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan didasarkan pada
“mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan
pertumbuhan ekonomi”, sistem ini masih lebih terfokus pada isu – isu seperti
untuk “menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, perlindungan konsumen,
dan suatu perlakuan yang adil terhadap masyarakat". Tidak dikatakan secara
eksplisit di dalam GBHN tersebut misalnya seperti ini : "dalam menghadapi
era perdagangan bebas dan globalisasi, ekonomi nasional harus diberdayakan atau
daya saing dari ekonomi Indonesia harus ditingkatkan, dan untuk mencapai tujuan
tersebut, UKM di dalam negeri harus diberdayakan atau dimodernisasikan dan
produktivitas, efisiensi dan daya saingnya harus ditingkatkan". Oleh
karena itu, penekanan utamanya harus pada pertanyaan bagaimana menyiapkan UKM
di Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas, dan sebagai sumber utama
pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sebagai sumber utama kesempatan berusaha bagi
masyarakat.
3.2 Struktur Pemerintahan
3.2.1 Pada tingkat nasional
Di
bawah Konstitusi 1945, Indonesia dipimpin oieh seorang presiden yang
dipilih sekali lima tahun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang
termasuk parlemen dan otoritas tertinggi negara. Presiden
dapat menunjuk anggota – anggota MPR dan membentuk kabinet dan sejumlah
menteri yang terdiri dan beberapa menteri Negara (non departemen) dan menteri –
menteri yang mengepalai departemen – departemen. Pelaksana pemerintah adalah
Presiden dan kabinetnya sedangkan kekuasaan legislatif di Indonesia adalah di
tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan
undang – undang yang berlaku, fungsi – fungsi utama dari MPR adalah memilih
presides dan wakilnya, dan menetapkan konstitusi dan garis – garis besar dari
kebijaksanaan pemerintah dan negara. Sedangkan fungsi – fungsi utama dari badan
legislatif (DPR) adalah membuat, merubah, menyempurnakan atau menyetujui usulan
peraturan – peraturan atau undang – undang, termasuk UU APBN berdasarkan usulan
RAPBN dari Menteri Keuangan yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) lewat Presiden dan membantu pelaksanaan dari
undang – undang dan realisasi dari APBN dam kebijaksanaan pemerintah (lihat
gambar .1) untuk memperlancar tugas – tugas tersebut, DPR membentuk 9 komisi
adalah termasuk persiapaan, diskusi, dan penyempurnaan dari undang – undang
yang diusulkan dalam bidangnya masing – masing, diskusi dan penyempumaan
rencana APBN (RAPBN) yang diusulkan oleh pemerintah (kabinet), dan melakukan
monitor dan evaluasi. Komisi – komisi ini secara rutin melakukan dengar
pendapat / dialog dengan departemen – departemen maupun organisasi – organisasi
non pemerintah seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIN), asosiasi – asosiasi
bisnis dan lain – Iain mengenai berbagai macam isu – isu aktual.
Kesembilan
komisi – komisi tersebut, masing – masing dengan bidang / sektornya adalah
sebagai berikut
:
Komisi
1 : Pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri dan
informasi
Komisi 2
: Hukum, hak asasi manusia (HAM), dan masalah – masalah dalam negeri.
Komisi 3
: Pertanian, kehutanan, dan kelautan (termasuk perikanan)
Komisi 4
: Transportasi, pemukiman dan infrastruktur daerah
Komisi 5
: Industri, perdagangan, koperasi,
turisme
Komisi 6
: Agama dan pendidikan
Komisi
7 : Kesehatan dan kesejahteraan sosial
Komisi 8
: Energi, sumber daya mineral, penelitian dan teknologi, dan lingkungan
Komisi
9 : Keuangan, perbankan, perencanaan pembangunan
Dalam
hal eksekutif, struktur pemerintah secara garis besar dapat dibagi ke dalam
tiga elemen utama : pembuatan kebijaksanaan dan koordinasi, manajemen dan
pelaksanaan fungsi – fungsi oleh departemen – departemen perwakilan –
perwakilan kunci yang bertanggung jawab untuk setiap elemen adalah sebagai
berikut :
a. Pembuat
kebijaksanaan dan koordinasi
Kabinet
terdiri dari sejumlah menteri yang memiliki kontrol secara keseluruhan dari
pemerintah, memimpin dan mengkoordinasi departemen – departemen dan badan –
badan dan menentukan kebijaksanaan – kebijaksaan pemerintah.
b.Manajemen
Menten
keuangan adalah manajemen kunci dari pemerintah dan bertanggung jawab atas
perumusan strategi ekonomi, kebijaksanaan fiskal (pendapatan pemerintah),
anggaran nasionanl (APBN), manajemen BUMN. dan pengembangan lembaga – lembaga
keuangan. Seperti di Negara – Negara lain. Kekuasaan atas sumber daya finansial
yang dimiliki oleh Menteri Keuangan membuatnya sebagai menteri yang paling
berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1997, bank sentral dari Indonesia (Bank
Indonesia, BI) dibuat independen dari pemerintah, jadi posisi BI adalah di luar
kabinet. BI mempunyai tanggung jawab terhadap kebijaksanaan moneter, termasuk
kebijaksanaan nilai tukar rupiah, dan pencapaian target – target inflasi yang
ditetapkan oleh BI sendiri.
c. Departemen
– departemen
Departemen
– departemen pemerintah (umum disebut departemen teknis) secara tradisional
adalah motor utama untuk membuat menjalankan dan mengefektifkan kebijaksanaan
pemerintah dan dibiayai oleh Menteri Keuangan, atas persetujuan oleh Parlemen
(DPR). Departemen – departemen biasanya punya satu hierarki pimpinan, dan
dikepalai oleh seorang menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
d. Menteri –
menteri Negara
Kementrian
– kementrian non departemen yang dikenal dengan sebutan Menteri Negara tidak
mengepalai suatu departemen. Mereka adalah asisten – asisten dari Presiden yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas utama mereka
adalah untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan
di bidang – bidang tertentu kegiatan – kegiatan pemerintahan negara.
e. Badan
badan pelaksana
Seperti
di banyak Negara – Negara lain, badan – badan pelaksana dibentuk untuk
mematahkan struktur pemerintah yang kaku, yang susah digunakan, ke dalam unit –
unit yang berdiri bebas dan lebih fleksibel, dan untuk memisahkan pemberian
layanan dan implementasi fungsi – fungsi dari departemen – departemen dan
tanggung jawab – tanggung jawab utama dari pembuatan kebijaksanaan dan
strategi. Badan – badan tersebut adalah seperti BAPPENAS, BPS (Biro Pusat
Statistik), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), dan LAN (Lembaga
Administrasi Negara).
3.2.2 Pada Tingkat Regional
Indonesia
dibagi dalam lebih dari 30 propinsi, dan setiap propinsi dikelola oleh seorang
Gubernur dan suatu badan pembuat undang – undang di tingkat regional, yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang mana anggota – anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum, yang memilih gubernur atas persetujuan presiden. Di
antara propinsi – propinsi, ada lebih dan 200 kabupaten dan lebih dari 55
kotamadya atau kota, dikepalai masing – masing oleh Bupati. Dan walikota. Pada
tingkat lebih rendah, ada banyak kecamatan dan desa. Setiap pemerintah –
pemerintah propinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengelola urusan – urusan
keperintahan mereka sesuai prinsip – prinsip dari otonomi. Gubernur, Bupati,
dan Walikota dipilih secara demokrasi.
Dalam
hal legislatif, berdasarkan UU No. 22/1999, Bupati / Walikota ditentukan oleh
DPRD Kabupaten / kota dan harus disetujui oleh Presiden, Bupati / Walikota
bertanggung jawab kepada DPRD : Setiap macam kebijaksanaan daerah yang
dikeluarkan oleh Bupati / walikota harus disetujui oleh DPRD. Oleh karena itu,
peranan DPRD adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari undang – undang /
peraturan – peraturan daerah yang disetujuinya.
C. Petunjuk
Teknis Perkuatan Business Development Service Dalam Pengembangan Sentra Usaha
Kecil Menengah.
PERATURAN
MENTERI
NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR
: 02/Per/M.KUKM/I/20082007
TENTANG
PEDOMAN
PEMBERDAYAAN
BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES-PROVIDER (BDS-P)
UNTUK
PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (KUMKM)
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Bagian
Kesatu
Pengertian
Pasal
1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud
dengan :
1.
Business Development Services/Layanan
Pengembangan Bisnis (BDS/LPB) adalah kegiatan pemberian layanan (jasa)
pengembangan bisnis, untuk meningkatkan kinerja KUMKM.
2.
Business Development Services–Provider
(BDS-P) adalah lembaga yang memiliki kompetensi dan kemampuan untuk melakukan
kegiatan layanan pengembangan bisnis KUMKM.
3.
Business Development Services-Provider
Unggulan (BDS-P Unggulan) adalah BDS-P yang dinilai memiliki kinerja (prestasi)
lebih menonjol dalam pengembangan bisnis KUMKM.
4.
Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat
yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagaimana diatur menurut
undang-undang tentang Usaha Kecil.
5.
Usaha Menengah adalah kegiatan ekonomi
yang berskala menengah dan memenuhi kriteria sebagaimana diatur menurut Instruksi
Presiden tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.
6.
Koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang/seorang atau badan hukum Koperasi yang melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan, sebagaimana diatur menurut
Undang-undang tentang Perkoperasian.
7.
Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan
oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim
usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan
memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, sebagaimana diatur
menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
8.
Pembinaan dan Pengembangan adalah upaya
yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melalui pemberian
bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan
Usaha Kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, sebagaimana diatur
menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
9.
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen atau pelaku usaha sebagaimana diatur menurut Undang-undang
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat.
10.
Sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di
kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang menggunakan bahan baku/sarana
yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk
dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik masuk
(entry point) dari upaya pengembangan klaster.
11.
Konsultan KUMKM adalah seorang tenaga
profesional yang menyediakan jasa nasehat ahli, dalam bidang keahlian tertentu
menurut fungsi dan/atau bidang/sektor usaha tertentu, misal akuntansi, hukum,
usaha perikanan, peternakan, manufakturing, dll.
12.
Pendamping KUMKM adalah orang/lembaga yang
menjalin relasi dengan KUMKM dalam rangka memperkuat dukungan, memotivasi,
memfasilitasi dan menjembatani kebutuhan untuk pemberdayaan KUMKM.
13.
Standar Kompetensi Kerja adalah alat ukur
minimal yang harus dimiliki oleh seorang pendamping/penyuluh/konsultan untuk
menganalisa uraian tugasnya dalam rangka membina dan mengembangkan usaha KUMKM.
14.
Sertifikasi Kerja adalah proses pemberian
sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji
kompetensi yang mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
dan/atau internasional.
15.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati
atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah
daerah.
16.
Kelompok Kerja (Pokja) pemberdayaan BDS-P
adalah organisasi ex-officio di tingkat pusat dan daerah, untuk melakukan tugas
dan tanggung jawab khusus dalam penyelenggaraan pemberdayaan BDS-P bagi
Pengembangan KUMKM, yang organisasi dan tugasnya diatur dalam peraturan ini.
17.
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
18.
Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah.
Bagian
Kedua
Tujuan
dan Sasaran
Pasal
2
(1)
Tujuan Pemberdayaan BDS-P :
a.
meningkatkan kemampuan BDS-P dalam
melakukan layanan pengembangan bisnis sesuai kebutuhan KUMKM;
b.
meningkatkan kinerja bisnis KUMKM yang
memperoleh layanan pengembangan bisnis.
(2)
Sasaran Pemberdayaan BDS-P :
a. meningkatnya
jumlah dan kualitas BDS-P yang profesional dan BDS-P unggulan;
b. meningkatnya
jumlah dan kualitas tenaga konsultan/pendamping KUMKM pada BDS-P;
c. meningkatnya
jumlah dan kinerja bisnis KUMKM, termasuk penumbuhan usaha baru;
d. meningkatnya
peran aktif Pemerintah, Pemerintah Provinsi/DI, Pemerintah Kabupaten/Kota,
Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan pihak-pihak terkait lainnya, dalam
memberdayakan BDS-P untuk pengembangan KUMKM di daerah.
Bagian
Ketiga
Fungsi
dan Tugas Pokok BDS-P
Pasal
3
1.
BDS-P berfungsi sebagai lembaga penyedia
layanan pengembangan bisnis sesuai dengan kebutuhan KUMKM.
2.
BDS-P mempunyai tugas pokok :
a. bimbingan-konsultasi
layanan pengembangan bisnis;
b. pendampingan
bisnis;
c. memfasilitasi
akses terhadap sumber daya produktif antara lain: modal, pasar, teknologi,
manajemen dan informasi.
3.
Pemberian layanan pengembangan bisnis
kepada KUMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan sesuai dengan
kebutuhan, dan dapat berupa antara lain, identifikasi potensi dan permasalahan
bisnis, bimbingan pengembangan rencana bisnis, kemitraan dan kebutuhan
pengembangan bisnis lainnya.
Bagian
Keempat
Kelembagaan
BDS-P
Pasal
4
Pelaksanaan fungsi dan
tugas layanan pengembangan bisnis KUMKM sebagaimana dimaksud pada pasal 3,
dapat dilaksanakan oleh :
a.
perorangan oleh tenaga ahli/tenaga
konsultan/tenaga pendamping KUMKM secara perseorangan dalam wadah BDS-P;
b.
lembaga BDS-P dalam bentuk antara lain,
yayasan, perseroan terbatas, koperasi, perguruan tinggi dan organisasi
kemasyarakatan.
BAB
II
Bagian
Kesatu
Kegiatan
Pemberdayaan BDS-P
Pasal
5
Kegiatan pemberdayaan
BDS-P meliputi :
a.
penciptaan iklim usaha antara lain,
koordinasi dan pengembangan kebijakan di bidang layanan pengembangan bisnis;
b.
pembinaan dan pengembangan antara lain,
pengembangan standar kompetensi, sertifikasi, peningkatan kualitas tenaga
ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUMKM, dukungan insentif, serta
monitoring dan evaluasi;
Bagian
Kedua
Pengembangan
BDS-P Unggulan
Pasal
6
a. Secara
selektif BDS-P diarahkan untuk tumbuh menjadi BDS-P unggulan, yang mampu
mendorong pengembangan UKM sentra dan/atau UKM lainnya.
b. BDS-P
unggulan memiliki kriteria umum yaitu profesional, mandiri dan memiliki
jaringan kerjasama usaha.
c. BDS-P
unggulan didorong dan difasilitasi untuk mampu melakukan layanan pengembangan
bisnis secara produktif bagi kemanfaatan KUMKM, dan dapat menjadi penghela bagi
BDS-P lainnya.
Bagian
ketiga
Fasilitasi
Program
Pasal
7
(1)
BDS-P yang aktif melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis dan kinerjanya
dinilai baik, dapat memperoleh dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha.
(2)
Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari
APBN/APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan kewajaran,
kepatutan dan kemampuan keuangan negara.
(3)
BDS-P dapat memperoleh pendapatan (fee) jasa layanan pengembangan
bisnis dari KUMKM yang dibina.
BAB
III
ORGANISASI
PELAKSANAAN
Organisasi
Penyelenggara
Pasal
8
(1)
Organsiasi penyelenggara pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUMKM terdiri
dari :
a.
organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Pusat Cq. Kementerian Negara
Koperasi dan UKM, dilaksanakan oleh Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan
dan Restrukturisasi Usaha;
b.
organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Daerah Cq. Dinas/Badan yang
membidangi Koperasi dan UKM Provinsi/Kabupaten/Kota.
(2)
Dalam rangka koordinasi Pemberdayaan BDS-P, dapat dibentuk :
a.
Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat pusat, beranggotakan unsur Kementerian Negara
Koperasi dan UKM dan instansi pemerintah terkait, ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dan/atau Deputi
Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, dengan tugas
antara lain :
1)
merumuskan kebijakan pemberdayaan BDS-P tingkat nasional
2)
melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pusat dan Daerah;
3)
melakukan pengembangan parameter-parameter standar bagi peningkatan kemampuan
BDS-P, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberdayaan BDS-P;
4)
menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P, kepada Menteri
Negara Koperasi dan UKM,
b.
Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat Daerah beranggotakan unsur Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan Organisasi Kemasyarakatan, ditetapkan
berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, dengan tugas antara lain :
1)
merumuskan kebijakan dan program pemberdayaan BDS-P di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota;
2)
melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pemerintah Daerah, Dunia Usaha
dan Perguruan Tinggi;
3)
mendorong Perguruan Tinggi berperan antara lain, mengembangkan inovasi,
perluasan akses Teknologi Tepat Guna, pengembangan modul dan perangkat lunak
layanan pengembangan bisnis bagi KUMKM;
4)
mendorong Dunia Usaha berperan antara lain, memfasilitasi perluasan jaringan
usaha dan kemitraan.
5)
melakukan sosialisasi, pembinaan-pengembangan, monitoring dan evaluasi kinerja
BDS-P;
6)
menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P kepada Gubernur,
Bupati/Walikota.
BAB
IV
MONITORING
DAN EVALUASI
Pasal
9
Dalam
rangka optimalisasi pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan
KUMKM, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara periodik sebagai berikut
:
a.
BDS-P menyampaikan laporan perkembangan layanan bisnis kepada Dinas/Badan yang
membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota, Provinsi, berisi :
1)
perkembangan organisasi dan kelembagaan;
2)
pelaksanaan kegiatan layanan pengembangan bisnis kepada UKM;
3)
perkembangan kinerja UKM binaan BDS-P.
b.
Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi menyampaikan laporan
perkembangan BDS-P kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM Cq. Deputi
Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha;
c.
Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha
menyampaikan laporan perkembangan BDS-P kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM.
Post a Comment